Catatan Perjalanan :

Keliling Setengah Amerika

 

5.   Pejalan Kaki Yang Dimanjakan Di Gatlinburg

 

Gatlinburg menjadi kota pertama yang saya temui setelah menuruni pegunungan Great Smoky, satu diantara beberapa kota pariwisata di sisi barat laut pegunungan Great Smoky. Kota yang terletak pada elevasi sekitar 400 m di atas permukaan laut ini sebenarnya hanya berpopulasi sekitar 3.400 jiwa. Tetapi kota ini populer sebagai kota cendera mata yang hampir setiap harinya dipadati oleh wisatawan, lebih-lebih dalam liburan musim panas seperti ini. Entah bagaimana kota kecil ini bisa sedemikian menjadi pilihan tempat tujuan wisata.

 

Ada yang menarik ketika tiba di kota kecil Gatlinburg, yang menjelang sore hari Minggu, 2 Juli 2000 itu masih sangat padat dan ramai wisatawan. Jalan utama yang membelah kota wisata ini cukup dikendalikan dengan rambu lalulintas yang memperingatkan tentang batas kecepatan maksimum 25 mil/jam (sekitar 40 km/jam). Para pengendara yang sewaktu berada di rute pegunungan tadi sama-sama melaju kencang, tiba di kota ini serta-merta mengurangi kecepatan. Tanpa perlu dilambai-lambai oleh tangannya Pak Polisi, apalagi patungnya.

 

Kalau ditanya kenapa mereka bisa demikian patuh kepada aturan yang ada? Saya tidak tahu persis jawabannya. Saya hanya bisa menduga-duga, kemungkinan karena tradisi lebih mudah diatur (baca : disiplin) memang sudah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat mereka. Atau, kemungkinan lain karena mereka takut kepada disiplin penegakan aturan yang ketat. Artinya, sekali mereka melanggar aturan maka sangsi yang tidak ringan akan dikenakan kepada mereka dengan konsekuen. Kalaupun ini benar, maka ini adalah ketakutan yang edukatif.

 

Saya mencoba bercermin diri : Bagaimana dengan kita? Siapa takut……? Kelihatannya kita memang lebih berani. Berani bukan karena tidak takut, melainkan karena kita punya “kebiasaan” suka memperjual-belikan rasa takut. Sehingga tidak tampak lagi beda antara patuh dan tidak patuh, disiplin dan tidak disiplin. Ah, bisa jadi cermin yang saya gunakan keliru.

 

Setiap beberapa puluh meter di jalan utama kota Gatlinburg ini ada tempat penyeberangan jalan (zebra cross), yang di atas aspalnya ditulis dengan tulisan besar warna putih yang berbunyi “Dahulukan Pejalan Kaki”. Maka jika terlihat ada pejalan kaki yang turun dari trotoar hendak menyeberang, tidak ada alasan lain bagi setiap pengendara kendaraan yang datang dari kedua arah selain berhenti memberi kesempatan kepada pejalan kaki untuk menyeberang.

 

Menjadi pejalan kaki di Gatlinburg memang benar-benar dimanjakan dengan rasa aman. Untuk menjadi pejalan kaki di kota ini nampaknya tidak diperlukan ketrampilan menyeberang jalan. Kontradiktif (tanpa bermaksud membandingkan) dengan cerita kawan-kawan saya yang tinggal di Jakarta, dimana ilmu menyeberang jalan menjadi wajib dipelajari oleh kaum pendatang untuk bisa hidup selamat di Jakarta. Alih-alih mau turun dari trotoar, lha wong masih di atas trotoar saja sudah merasa tidak aman. Berebut jalan dengan para pemain tong setan yang karena tidak punya tong lalu pindah ke trotoar.

 

***

 

Setelah melewati beberapa kota wisata yang membuat kami tidak bisa melaju cepat, akhirnya kami ketemu lagi dengan jalan Interstate 40 yang menuju ke arah timur dan lalu berpindah ke Interstate 81 menuju ke arah timur laut. Di jalan bebas hambatan ini saya memberanikan diri memacu kendaraan dengan mencuri kecepatan di atas batas maksimum, agar bisa memperkecil ketertinggalan jarak dan waktu tempuh. Sebelum tiba di perbatasan dengan negara bagian Virginia, kami berbelok ke Highway 23 yang menuju ke kota Kingsport.

 

Kota Kingsport terletak menjelang perbatasan antara negara bagian Tennessee dan Virginia. Hari sudah mulai gelap saat saya tiba di kota ini, dan perjalanan ke arah utara dari kota ini hanya akan melalui kota-kota kecil. Ketika berhenti sebentar untuk mengisi BBM, saya minta persetujuan terutama kepada anak-anak bahwa perjalanan akan dilanjutkan sampai agak malam dan menginap dimanapun nanti kalau ketemu kota pertama yang sekiranya enak untuk diinapi. Ini karena mengingat bahwa kami semakin tertinggal dari jarak tempuh yang seharusnya bisa dicapai akibat beberapa kali jalan merayap ketika melewati jalur padat yang kurang saya perhitungkan sebelumnya.

 

Melaju dalam gelap di rute jalan yang relatif sepi, awalnya memang cukup mengasyikkan. Di sebelah menyebelah jalan di dataran agak tinggi tampak pemandangan kerlap-kerlip lampu-lampu rumah yang antara satu rumah dan lainnya saling berjauhan di keremangan senja hari. Sepi sekali memang. Tetapi semakin malam menjadi semakin membosankan karena tidak ada lagi pemandangan yang bisa dinikmati di wilayah paling ujung barat dari negara bagian Virginia. Negara bagian Virginia ini mempunyai nama julukan sebagai “The Old Dominion State” dengan kota Richmond sebagai ibukotanya.

 

Akhirnya kami tiba di kota kecil Jenkins yang berada di perbatasan antara negara bagian Virginia dan Kentucky. Dari kota ini perjalanan masih kami lanjutkan, karena melihat suasana kota yang menurut feeling kurang enak untuk disinggahi. Sekitar sejam kemudian kami lalu tiba di kota Pikeville, yang berada di wilayah negara bagian Kentucky. Kentucky adalah negara bagian kesembilan yang saya lintasi hingga hari kedua perjalanan kami, setelah sebelumnya melintasi Virginia. Negara bagian Kentucky mempunyai nama julukan “Bluegrass State” dengan ibukotanya di kota Frankfort.

 

Sejak dari kota Kingsport hingga Pikeville rute jalan yang kami lalui relatif mudah karena hanya mengikuti sepanjang rute Highway 23, sehingga tidak perlu bolak-balik melihat peta. Saat tiba di kota Pikeville ini waktu sudah menunjukkan lebih jam 10:00 malam. Kami lalu mencari hotel untuk menginap di pinggiran kota kecil ini setelah lebih dahulu mampir ke McDonald di downtown, sekedar mengisi perut.- (Bersambung)

 

 

Yusuf Iskandar

 

[Sebelumnya][Kembali][Berikutnya]